SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Kamis, 15 Mei 2014

JUMLAH CALEG DPR DARI 12 PARTAI

Negeri ini kembali mengkandaskan ratusan ribu calon legislatif. Lewat pemilu legislatif yang memakan biaya belasan trilun rupiah (total Rp 16,1 triliun untuk tiga kali pemungutan suara), saat     ini bertebaran banyak caleg gagal dalam beragam kondisi. Ada yang pasrah, ada yang kecewa, ada yang melawan, ada yang stres, ada juga yang sakit jiwa.
Inilah salah satu dampak sistem pemilu semi-proporsional yang disepakati oleh para politisi Senayan. Gejolak dan riaknya terjadi di semua tingkatan daerah dan pada hampir semua lapisan masyarakat.
Berapa sebenarnya jumlah caleg yang gagal?
Sejujurnya, sulit mendapatkan angka pasti berapa orang yang terlibat dalam kontes menuju kursi legislatif. Beberapa media hanya menyebut angka ‘kurang lebih 200 ribu’ caleg seperti disebutkan oleh pelaksana pemilu. Berapa jumlah pastinya, nyaris tidak ada orang yang tahu.
Saya berulang kali mencari angka pasti total caleg di semua tingkatan pemilu untuk 532 lembaga legislatif se-Indonesia (terdiri atas 1 lembaga DPR, 1 DPD, 34 DPRD Provinsi, dan 497 DPRD Kab/Kota). Tapi tidak ada satu pun yang mempunyai data lengkap.
Yang paling banyak dimuat media adalah data untuk jumlah caleg DPR dan DPD. Harap maklum, semua media nasional berkumpul di ibukota, kecualiJawa Pos, sehingga tidak ada yang memiliki basis data di daerah. Untuk lembaga legislatif tingkat nasional, terdata ada 6.608 caleg yang bertarung di DPR RI dan 945 caleg DPD RI.
Lativa, salah seorang pengelola jariungu.com, juga mengaku kesulitan mengumpulkan data semua caleg untuk dimuat di websitenya. “Harus satu per satu dikumpulkan mas ke masing-masing KPU daerah,” akunya saat menjelaskan bagaimana timnya menyusun data caleg sebagai bagian dari edukasi pemilih jelang Pemilu 2014.
Jadi, untuk menebak berapa orang caleg yang gagal alias tidak terpilih juga tidak mudah didapat angkanya.
Tapi saya mencoba membuat sebuah kalkulasi jumlah caleg yang ikut berkompetisi dan jumlah caleg yang kalah dalam kompetisi 9 April lalu. Dengan berpatokan pada kisaran 200 ribu caleg seperti disebut ketua KPU Husni Kamil Manik kepada media.
DPR RI
Untuk tingkat DPR RI, terdapat 6.608 caleg dari 12 partai nasional yang memperebutkan 560 kursi  di 77 Daerah Pemilihan seluruh Indonesia. Di setiap Dapil, tersedia 3-10 kursi yang diperebutkan.
Jadi, total caleg yang gagal bermukim di Senayan sebanyak 6.048 orang.
DPD RI
Di tingkat DPD, terdapat 945 caleg individual yang memperebutkan 132 kursi  di 33 Daerah Pemilihan seluruh Indonesia. Untuk DPD, hitungan kursi di setiap dapil lebih praktis, karena masing-masing mendapatkan 4 kursi.
Jadi, total caleg yang gagal menjadi Wakil Daerah di DPD RI sebanyak 813 orang.
DPRD Provinsi
Untuk tingkat DPRD I atau DPRD Provinsi, pemilu diadakan di 259 Daerah Pemilihan, memperebutkan 2.112 kursi di 33 lembaga DPRD I. Jumlah wakil rakyat di setiap lembaga bervariasi, ada yang berisi 35 kursi, ada yang sampai 100 kursi. Jumlah kursi per Dapil yang tersedia berkisar antara 3 sampai 12 kursi.
Dengan asumsi setiap partai nasional mengirimkan 7 orang caleg di setiap dapil, maka jumlah caleg yang bertarung sebanyak 21.756. Partai lokal Aceh tidak saya masukkan, karena sebaran calegnya hanya ada di Dapil Aceh.
Jadi, total caleg yang gagal menjadi Wakil Daerah di DPRD I sebanyak 19.644 orang.
Sebenarnya, saat ini Indonesia memiliki 34 provinsi. Tapi berhubung provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) sebagai provinsi paling muda masih baru, pelaksanaan pemilu dan hasilnya masih dilakukan di provinsi induknya, Kalimantan Timur (Kaltim).
DPRD Kab/Kota
Lalu untuk DPRD II atau tingkat Kabupaten/Kota, pemilu diadakan di 2.102 Daerah Pemilihan, memperebutkan 16.895 kursi di 497 lembaga DPRD II. Jumlah wakil rakyat di setiap lembaga bervariasi, ada yang berisi 20 kursi, ada yang sampai 50 kursi. Jumlah kursi per Dapil yang tersedia berkisar antara 3 sampai 12 kursi.
Dengan asumsi setiap partai nasional mengirimkan 7 orang caleg di setiap dapil, maka jumlah caleg yang bertarung sebanyak 176.568. Partai lokal Aceh tidak saya masukkan, karena sebaran calegnya hanya ada di Dapil Aceh.
Jadi, total caleg yang gagal menjadi Wakil Daerah di DPRD I sebanyak159.673 orang.
Banyak banget bukan??!
Kalau dijumlah total semua, maka ada 186.178 caleg gagal yang saat ini sedang pasrah, geram, kecewa, bersiap mengajukan gugatan, masih terus berjuang mendapatkan keadilan, stres atau bahkan menjadi penghuni rumah sakit jiwa.
Oleh karena itu, jangan heran kalau kamu akan bertemu atau mendengarkan obrolan soal mereka. Dan mereka boleh jadi bukan orang lain atau orang jauh, melainkan orang dekat yang tinggal di satu areal atau kawasan.

Selanjutnya, rakyat Indonesia punya pilihan, mau terus memproduksi ratusan ribu caleg gagal setiap 5 tahun, atau mengubah sistem pemilu yang menakutkan ini.

JUMLAH KURSI YANG DIPEREBUTKAN DI DPR

Proses demokrasi di Indonesiaselalu berlangsung semarak terutama saat Pemilihan Umum. Salahsatu buktinya terlihat dari banyaknya jumlah caleg dan kursi yang diperebutkan dalam Pemilu 2014.

Ada tiga tingkatan pemilu legislatif yaitu DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Secara rinci, jumlah daerah pemilih di tingkat pusat DPR RI ada sebanyak 77 dapil dengan 560 kursi.

DPD terdiri dari 33 dapil dengan jumlah kursi yang diperebutkan 132 kursi. DPRD provinsi ada 259 dapil dengan 2.112 kursi. Lalu terbanyak adalah DPRD Kabupaten Kota 2.102 dapil dengan 16.895 kursi.

"Maka yang diperebutkan (secara 
nasional) adalah 19.699 unit kursi di 2.471 daerah pemilihan," kata ketua KPU Husni Kamil Manik dalam pemaparan rapat dengan TNI, Polri dan Kementerian di kantor KPU, Jalan ImamBonjol,Jakpus,Kamis (9/1/2013).

"Jumlah calon (secara nasional) lebih kurang 200 ribu orang," imbuhnya.
Husni menyatakan, hal itu perlu diantisipasi baik oleh Polri dan TNI maupun kementerian untuk mensukseskan Pemilu. Husni lalu menyinggung juga soal akibat dari Pileg, terutama bagi caleg yang gagal.      .


Referensi:
http://news.detik.com/read/2014/01/09/120902/2462640/10/200-ribu-caleg-yang-berebut-19-ribu-kursi-di-2014

ALAMAT DPP PARPOL , DPD 1 S/D 12 PARTAI



1.     DPC PARTAI NASIONAL DEMOKRAT (Partai NasDem)  Bulakerejo Rt 3 Rw 7 Sukoharjo

2.     DPC PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB ) Jl. Jendral Sudirman No. 417B

3.     DPD PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS) Jl. Jendral Sudirman No. 421

4.     DPC PARTAI DEMOKRASI INDONESIA PERJUANGAN (PDIP) Jl.Tentara pelajar, Jombor, Bendosari

5.     DPD PARTAI GOLKAR  Jl.Mayor Sunaryo No. 22 Sukoharjo

6.     DPC PARTAI GERINDRA  Jl.Gatot Subroto Nomor 8 Madyorejo Rt 01/VII Jetis

7.     DPD PARTAI DEMOKRAT Jl. Pemuda No. 70 Sukoharjo

8.     DPD PARTAI AMANAT NASIONAL (PAN) Jl. Jend. Sudirman No. 298

9.     9.DPC PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN (PPP)  Dompilan Rt 01 Rw            09,Sidorejo Jl.Jend Sudirman 419

10.  DPC PARTAI HANURA  Jl. Tentara Pelajar No. 2 JomborIndah, Bendosari

11.  DPC PARTAI BULAN BINTANG (PBB)  Jl.  Gatot Subroto No. 15


12.  DPK PARTAI KEADILAN DAN PERSATUAN INDONESIA (PKPI) Jl. Raya Solo-Sukoharjo Km 7.8 Telukan, Grogo


Referensi:

KHUSUS ANGGOTA DPR & DPRD 1 YANG TERPILIH DAN JUMLAH CALEG PEREMPUANNYA

Persoalan politik perempuanIndonesia. Wacana keterlibatan perempuan dalam politik perlu serius kita angkat. Apalagi selama ini ternyata kuota perempuan 30% untuk anggota legislatif tidak tercapai.
            Persoalannya, menghadapi Pemilu 2014, bagaimana kita harus menyikapi hal tadi? Sebab, hal itu seharusnya bisa digunakan sebagai starting point dan media bagi perempuan untuk memberdayakan dirinya dalam bidang politik. Ataukah para perempuan perlu memikirkan media dan alternatif lain untuk memberdayakan dirinya dalam bidang politik, selain melalui kuota 30%?
Dalam sejarah perpolitikan di Indonesia dan negara berkembang umumnya, perempuan memang dipandang terlambat terlibat di dunia politik. Stigma-stigma bahwa perempuan senantiasa dalam posisi domestik, dianggap sebagai salah satu hal yang mengakibatkan perempuan terlambat berkiprah di dunia politik. Padahal potensi modal politik kaum perempuan (termasuk di Indonesia) untuk melibatkan diri dalam dunia politik adalah besar.
Menurut Biro Pusat Statistik, jumlah perempuan Indonesia adalah sebanyak 101.628.816 orang (51%) dari jumlah penduduk Indonesia. Ironisnya, jumlah perempuan yang ada pada posisi-posisi strategis untuk pengambilan keputusan amat minim. Pada setiap pemilu, jumlah perempuan yang terpilih berkisar antara 8% hingga 11%. Pendaftaran pencalonan dari masing-masing kekuatan politik bisa mencerminkan lebih dari 11% caleg perempuan, namun kenyataannya yang terpilih tidak lebih dari itu.
Dengan kondisi itu bisa dimengerti bila keputusan-keputusan yang dibuat sangat maskulin dan kurang berperspektif gender. Perempuan tidak banyak terlibat dalam proses pembuatan keputusan. Perempuan lebih banyak sebagai “penikmat” keputusan. Padahal keputusan yang dihasilkan sering sangat bias gender, tidak memperhatikan kepentingan kaum perempuan, tidak membuat perempuan kian berkembang. Sebaliknya, lebih banyak membuat perempuan menenggelamkan diri pada sektor-sektor yang amat tidak strategis. Dalam jangka panjang, ini mengakibatkan posisi perempuan selalu berada pada posisi marjinal.
Salah satu argumen kaum feminis tentang minimnya jumlah perempuan yang terlibat dalam urusan politik ialah karena kendala struktural. Di antaranya berupa kebijakan dan regulasi pemerintah yang tidak memberi kesempatan kepada perempuan untuk aktif di ranah publik. Kendala struktural itu kemudian coba diatasi dengan menetapkan kuota perempuan dalam UU tentang Pemilu. Salah satu pasalnya menyebutkan, “Setiap partai politik dapat mengajukan calon anggota DPR dan DPRD dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Aturan ini bisa dipahami sebagai upaya untuk menghapus kendala struktural yang mungkin membelenggu perempuan.
Dengan amanat pasal itu, ada semacam kewajiban bagi setiap parpol untuk menempatkan perempuan sebagai caleg. Setiap ada 3 nama yang diusulkan sebagai caleg, satu di antaranya harus perempuan. Dengan cara ini, diharapkan minimalsepertiga jumlah anggota DPR/DPRD yang terpilih adalah perempuan. Dengan begitu kebijakan-kebijakan yang dihasilkan, baik di pusat maupun daerah, akan lebih berpihak kepada kaum perempuan yang karena sifat dan kodratnya memang membutuhan perlakuan khusus.
Sayangnya, belajar dari sejarah, dalam proses pencalonan anggota legislatif untuk pemilu, banyak parpol yang tidak mampu memenuhi jumlah minimal caleg perempuan. Sebagai pelajaran ke depan, tentu kita harus melacaknya dengan cermat, mengapa itu terjadi? Faktor struktural jelas tidak bisa dijadikan “kambing hitam”, sebab sudah ada amanat salah satu pasal dalam UU tentang Pemilu. Yang bisa dijadikan “kambing hitam” hanyalah abu-abunya ketentuan pasal tadi, dalam arti tidak bersifat imperatif dan tidak disertai sanksi bagi parpol yang tidak menaatinya.
Faktor lain yang kemudian dijadikan argumen ialah faktor kultural. Selama ini, dunia politik dikonstruksikan secara keliru, yaitu sebagai arena adu kekuatan, tipu muslihat, perebutan kekuasaan, penyalahgunaan kekuasaan, dan segala bentuk citra negatif lainnya. Dunia demikian memang menjadi asing bagi perempuan yang cenderung mengutamakan kehalusan, ketulusan, kedamaian dan ketentraman hidup. Banyak perempuan berpandangan, panggung politik bukanlah wilayah yang pantas dimasuki dan sebisa mungkin harus dihindari. Politik acap dianggap sebagai arena bermain bagi laki-laki untuk menempa eksistensi dan jati diri. Memang bagi kebanyakan orang (laki-laki), politik sebagai profesi adalah sesuatu yang amat menggairahkan. Tapi tidak demikian bagi para perempuan.
Faktor lainnya yang dapat digunakan untuk menjelaskan minimnya caleg perempuan ialah faktor intern parpol. Parpol belum siap mengajukan caleg perempuan yang kualified dan potensial. Sebab selama ini ada tradisi dalam struktur organisasi apapun untuk menempatkan perempuan cuma dalam bidang-bidang yang mengurusi bidang keperempuanan, seperti bendahara, bidang/urusan wanita, urusan sosial dan semacamnya, bukan pada posisi-posisi strategis.
Kondisi ini yang kemudian mendorong suatu parpol untuk mengajukan caleg perempuan “impor” atau “siluman”, yang bukan kader parpol bersangkutan dan sama sekali belum dikenal kader-kader parpol. Sementara mereka yang sudah lama mengabdi dan menjadi kader parpol, sama sekali tidak dilirik bahkan diabaikan. Inilah yang kemudian menuai protes agar caleg perempuan itu dibatalkan, seperti kasus yang pernah terjadi di DPD PDI-P DI Yogyakarta.
Itu ditambah faktor jual beli nomor urut daftar pencalonan. Bagi caleg perempuan potensial, faktor ini bisa jadi turut menentukan proses pencalonannya. Jika dia tidak mampu menyediakan sejumlah dana untuk posisi nomor pencalonannya, lebih-lebih untuk “nomor peci”, sudah bisa dipastikan tidak akan diajukan sebagai caleg.
Mencermati realita politik di atas, para aktivis perempuan sebaiknya memandang kuota 30% perempuan dalam parlemen sebagai suatu proses pendidikan politik. Dan ke depan, khususnya untuk menghadapi Pemilu 2014, rencana dan program perlu lebih diarahkan untuk melakukan pendidikan politik, baik kepada parpol, caleg maupun pemilih, terutama pemilih perempuan.
Pendidikan politik ini tidak cuma bertalian dengan hal-hal teknis dalam proses pemilu seperti memberikan informasi kepada pemilih, siapa yang berhak memilih, mekanisme pemilihan, tempat, tanggal dan waktu pemilihan, dan syarat-syarat registrasi. Namun juga bertalian dengan pengetahuan dasar atau filsafat di balik hakikat pemilu, di antaranya apa itu pemilu dan mengapa pemilu diadakan. Harus pula dijelaskan, pemilu memiliki implikasi terhadap kualitas penyelenggaraan negara dan terciptanya good governance di masa depan. Yang diharapkan dari itu ialah munculnya kesadaran dan motivasi pemilih untuk berpartisipasi penuh dalam proses pemilu.
Dalam pendidikan politik itu juga perlu dijelaskan bagaimana menentukan pilihan parpol dan wakil legislatif. Dalam proses ini perlu ada gambaran jelas tentang profil parpol dan anggota legislatif yang diajukan parpol. Harus ada track record orang yang akan dipilih, terutama yang bertalian dengan persoalan korupsi dan keberpihakan kepada rakyat. Di sini perlu ditekankan agar dalam memilih dapat menggunakan pertimbangan rasional. Harus ada pertimbangan matang, mengapa memilih parpol ini atau itu, mengapa memilih si A atau B sebagai caleg, termasuk dalam memilih caleg perempuan. Jangan karena alasan agar kuota 30% perempuan terpenuhi, kita asal memilih caleg perempuan.
Agar pemilih lebih kritis, dalam proses pendidikan politik itu ada 3 tahap yang mesti dilakukan: (1) Tahap kodifikasi. Yaitu tahap menghadirkan fakta sosial ke dalam arena pendidikan politik, misalnya mempertanyakan apa fakta sosial atau persoalan krusial yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. (2) Tahap dekodifikasi. Yaitu tahap analisis atas persoalan atau fakta sosial, yakni mempertanyakan mengapa persoalan itu muncul. (3) Tahap praksis atau pemecahan masalah. Yaitu mempertanyakan bagaimana persoalan itu dapat dipecahkan dan bagaimana fungsi pemilu dalam upaya pemecahan masalah itu.
Dari semua itu, yang terpenting, proses pendidikan politik tersebut harus sensitif gender. Dengan strategi demikianlah kaum perempuan di Indonesia akan bisa menghadapi pemilu secara matang, terutama di Pemilu 2014. Semoga ini menjadi kesadaran bagi kaum perempuan. (*)


Referensi:
http://www.padangekspres.co.id/?news=nberita&id=4341

Jumat, 02 Mei 2014

Masalah di perbatasan indonesia

Republik Indonesia disingkat RI atau Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australiaserta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia adalah negara kepulauanterbesar di dunia yang terdiri dari 13.487 pulau, oleh karena itu ia disebut juga sebagaiNusantara. Dengan populasi sebesar 237 juta jiwa pada tahun 2010, Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang berpenduduk Muslimterbesar di dunia, meskipun secara resmi bukanlah negara Islam. Bentuk pemerintahan Indonesia adalah republik, dengan Dewan Perwakilan RakyatDewan Perwakilan Daerahdan Presiden yang dipilih langsung.
Ibu kota negara ialah Jakarta. Indonesia berbatasan darat dengan Malaysia di Pulau Kalimantan, dengan Papua Nugini di Pulau Papua dan dengan Timor Leste di Pulau Timor. Negara tetangga lainnya adalah SingapuraFilipinaAustralia, dan wilayah persatuanKepulauan Andaman dan Nikobar di India.
Sejarah Indonesia banyak dipengaruhi oleh bangsa lainnya. Kepulauan Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting setidaknya sejak abad ke-7, yaitu ketika Kerajaan Sriwijaya di Palembang menjalin hubungan agama dan perdagangan dengan Tiongkok dan India. Kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha telah tumbuh pada awal abad Masehi, diikuti para pedagang yang membawa agama Islam, serta berbagai kekuatan Eropa yang saling bertempur untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku semasa era penjelajahan samudra. Setelah berada di bawah penjajahan Belanda, Indonesia yang saat itu bernama Hindia-Belanda menyatakan kemerdekaannya di akhir Perang Dunia II. Selanjutnya Indonesia mendapat berbagai hambatan, ancaman dan tantangan dari bencana alam, korupsi, separatisme, proses demokratisasi dan periode perubahan ekonomi yang pesat.
Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa dan agama yang berbeda. Suku Jawa adalah suku terbesar dengan populasi mencapai 41,7% dari seluruh penduduk Indonesia. Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka tunggal ika"("Berbeda-beda tetapi tetap satu"), berarti keberagaman yang membentuk negara. Selain memiliki populasi padat dan wilayah yang luas, Indonesia memiliki wilayah alam yang mendukung tingkat keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia.

Indonesia juga anggota dari PBB dan satu-satunya anggota yang pernah keluar dari PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa), yaitu pada tanggal 7 Januari1965, dan bergabung kembali pada tanggal 28 September 1966 dan Indonesia tetap dinyatakan sebagai anggota yang ke-60, keanggotaan yang sama sejak bergabungnya Indonesia pada tanggal 28 September 1950.

Selain PBB, Indonesia juga merupakan anggota dari ASEAN (Association of Southeast Asian Nations), APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation), OKIG-20dan akan menjadi anggota dari OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development).

 

Ø  PERBATASAN WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Beginilah nasib daerah perbatasan, menjadi yang terdepan sekaligus yang tertinggal. Ternyata konsep pembangunan di negara – negara berkembang tidak sesederhana menata sebuah rumah idaman. Bagian yang terdepan biasanya dibuat paling menarik tertata rapi, ter update senantiasa kebersihannya, keasriannya dan menjadi tempat tongkrongan kendaraan yang kemudian menjadi gambaran tentang tingkat kemakmuran penghuni rumah.

Daerah perbatasan di Indonesia terdiri dari daerah perbatasan darat dan perbatasan laut termasuk daerah yang terdapat pulau - pulau terkecil. Sebenarnya di tinjau dari nilai strategis dan potensi kebanyakan daerah perbatasan di Indonesia, mereka mempunyai keunggulan dan keunikan tersendiri. Daerah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar memiliki potensi sumberdaya alam yang besar, serta merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara.

Tetapi, pembangunan di daerah perbatasan masih sangat jauh tertinggal dan kondisinya sangat timpang jika dibandingkan dengan kondisi daerah perbatasan negara tetangga. Kebijakan kepala negara dan pengelola negara ternyata tidak identik dengan skala kepala rumah tangga dan pengelolaan sebuah rumah idaman. Yang terdepan justru dianggap sebagai halaman belakang, diurusnya paling belakangan alias tidak masuk dalam prioritas pembangunan nasional.

Secara garis besar, keadaan daerah perbatasan merupakan gambaran dari penghayatan visi, misi dan tujuan pembangunan nasional kita. Kita, bangsa Indonesia masih rabun akan arah dan kebijakan dasar yang sesungguhnya. Seperti penghuni rumah yang tinggal bersama tetapi dalam kondisi ketimpangan yang nyata. Ada yang glamour pakai baju bagus dan kendaraan mewah disaat anggota keluarga yang lain masih berkutat dengan pemenuhan kebutuhan dasar, kira – kira seperti itulah.

Daerah perbatasan dihuni oleh anggota masyarakat yang tergolong miskin, jauh dari sejahtera dan sangat tertinggal. Masih belum banyak tersentuh oleh program pembangunan sehingga akses terhadap prioritas pembangunan seperti infrastruktur, pemberdayaan potensi, pelayanan sosial, ekonomi, dan pendidikan masih sangat terbatas. Jika anda berkesempatan mengunjungi daerah perbatasan di Indonesia, maka anda akan menemui kondisi seperti kendala akses transportasi yang menghubungkan daerah perbatasan dengan daerah lain yang lebih inward yang relatif lebih maju. kebanyakan daerah perbatasan itu miskin tetapi miskin justru karena miskin nya perhatian dan keseriusan pemerintah untuk mengelola kekayaan sumberdaya alam melimpah yang dimiliki daerah perbatasan tersebut.

Sayangnya lagi, pengelola otoritas daerah perbatasan justru berpola pikir seragam dengan atasannya yang di pusat. Melihat daerahnya sendiri yang serba kurang dan lemah, malah tidak berpikir kreatif untuk membuat kebijakan dan program yang dapat menggali potensi daerahnya karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) secara langsung serta berbagai alasan klasik dari bupati satu ke bupati lain yaitu berkeluh kesah dan menunjuk atasannya di pusat melalui berbagai sektor pembangunan terkaitnya belum optimal mendukung dan pelit anggaran.


Republik Indonesia adalah Negara kepulauan berwawasan nusantara, sehingga batas wilayah di laut harus mengacu pada UNCLOS (United Nations Convension on the Law of the Sea) 82/ HUKLA (Hukum laut) 82 yang kemudian diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985. Indonesia memiliki sekitar 17.506 buah pulau dan 2/3 wilayahnya berupa lautan.
Dari 17.506 pulau tersebut terdapat Pulau-pulau terluar yang menjadi batas langsung Indonesia dengan negara tetangga. Berdasarkan hasil survei Base Point atau Titik Dasar yang telah dilakukan DISHIDROS TNI AL, untuk menetapkan batas wilayah dengan negara tetangga, terdapat 183 titik dasar yang terletak di 92 pulau terluar, sisanya ada di tanjung tanjung terluar dan di wilayah pantai. Dari 92 pulau terluar ini ada 12 pulau yang harus mendapatkan perhatian serius.
Dalam Amandemen UUD 1945 Bab IX A tentang Wilayah Negara, Pasal 25A tercantum Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Di sini jelas disebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berwawasan nusantara, sehingga batas wilayah di laut harus mengacu pada UNCLOS (United Nations Convension on the Law of the Sea) 82/ HUKLA (Hukum laut) 82 yang kemudian diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985.
Dampak dari ratifikasi Unclos ini adalah keharusan Indonesia untuk menetapkan Batas Laut Teritorial (Batas Laut Wilayah), Batas Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan Batas Landas Kontinen. Indonesia Adalah negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.506 buah pulau dan 2/3 wilayahnya berupa lautan. Dari 17.506 pulau tersebut terdapat pulau-pulau terluar yang menjadi batas langsung Indonesia dengan negara tetangga.
BATAS WILAYAH NKRI Indonesia mempunyai perbatasan darat dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Sementara perbatasan laut dengan sepuluh negara tetangga, diantaranya Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste, India, Thailand, Australia, dan Palau. Hal ini tentunya sangat erat kaitannya dengan masalah penegakan kedaulatan dan hukum di laut, pengelolaan sumber daya alam serta pengembangan ekonomi kelautan suatu negara.
Kompleksitas permasalah di laut akan semakin memanas akibat semakin maraknya kegiatan di laut, seperti kegiatan pengiriman barang antar negara yang 90%nya dilakukan dari laut, ditambah lagi dengan isu-isu perbatasan, keamanan, kegiatan ekonomi dan sebagainya. Dapat dibayangkan bahwa penentuan batas laut menjadi sangat penting bagi Indonesia, karena sebagian besar wilayahnya berbatasan langsung dengan negara tetangga di wilayah laut. Batas laut teritorial diukur berdasarkan garis pangkal yang menghubungkan titik-titik dasar yang terletak di pantai terluar dari pulau-pulau terluar wilayah NKRI. Berdasarkan hasil survei Base Point atau titik dasar untuk menetapkan batas wilayah dengan negara tetangga, terdapat 183 titik dasar yang terletak di 92 pulau terluar, sisanya ada di tanjung tanjung terluar dan di wilayah pantai

A. PERJANJIAN dan PERMASALAHAN BATAS WILAYAH DARAT INDONESIA
1.      Malaysia

Kesepakatan yang sudah ada antara Indonesia dengan Malaysia di wilayah perbatasan adalah garis batas Landas Kontinen di Selat Malaka dan Laut Natuna berdasarkan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Malaysia tentang pene-tapan garis batas landas kontinen antara kedua negara (Agreement Between Government of the Republic Indonesia and Government Malaysia relating to the delimitation of the continental shelves between the two countries), tanggal 27 Oktober 1969 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 89 Tahun 1969.
Berikutnya adalah Penetapan Garis Batas Laut Wilayah RI – Malaysia di Selat Malaka pada tanggal 17 Maret 1970 di Jakarta dan diratifikasi dengan Undang-undang  Nomor 2  Tahun 1971 tanggal 10 Maret 1971.  Namun untuk garis batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) di Selat Malaka dan Laut China Selatan antara kedua negara belum ada kesepakatan.
Batas laut teritorial Malaysia di Selat Singapura terdapat masalah, yaitu di sebelah Timur Selat Singapura, hal ini mengenai kepemilikan Karang Horsburgh (Batu Puteh) antara Malaysia dan Singapura. Karang ini terletak di tengah antara Pulau Bintan dengan Johor Timur, dengan jarak kurang lebih 11 mil. Jika Karang Horsburg ini menjadi milik Malaysia maka jarak antara karang tersebut dengan Pulau Bintan kurang lebih 3,3 mil dari Pulau Bintan.
Perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Kalimatan Timur (perairan Pulau Sebatik dan sekitarnya) dan Perairan Selat Malaka bagian Selatan, hingga saat ini masih dalam proses perundingan.  Pada segmen di Laut Sulawesi, Indonesia menghendaki  perundingan batas laut teritorial terlebih dulu baru kemudian merundingkan ZEE dan Landas Kontinen. Pihak Malaysia berpendapat perundingan batas maritim harus dilakukan dalam satu paket, yaitu menentukan batas laut teritorial, Zona Tambahan, ZEE dan Landas Kontinen. Sementara pada segmen Selat Malaka bagian Selatan, Indonesia dan Malaysia masih sebatas tukar-menukar peta illustrasi batas laut teritorial kedua negara.

2.      Papua Nugini


Perbatasan Indonesia dengan Papua New Guinea telah ditetapkan sejak 22 Mei 1885, yaitu pada meridian 141 bujur timur, dari pantai utara sampai selatan Papua. Perjanjian itu dilanjutkan antara Belanda-Ing-gris pada tahun 1895 dan antara Indonesia-Papua New Guinea pada tahun 1973, ditetapkan bahwa perbatasan dimulai dari pantai utara sampai dengan Sungai Fly pada meridian 141° 00’ 00” bujur timur, mengikuti Sungai Fly dan batas tersebut berlanjut pada meridian 141° 01’ 10” bujur timur sampai pantai selatan Papua.
Permasalahan yang timbul telah dapat diatasi yaitu pelintas batas, penegasan garis batas dan lainnya, melalui pertemuan rutin antara delegasi kedua negara. Masalah yang perlu diselesaikan adalah batas ZEE sebagai kelanjutan dari batas darat.

3.      Timor Leste

Perundingan batas maritim antara Indonesia dan Timor Leste belum pernah dilakukan, karena Indonesia menghendaki penyelesaian batas darat terlebih dahulu baru dilakukan perundingan batas maritim. Dengan belum selesainya batas maritim kedua negara maka  diperlukan langkah-langkah terpadu untuk segera mengadakan pertemuan guna membahas masalah perbatasan maritim kedua negara.
Permasalahan yang akan sulit disepakati adalah adanya kantong (enclave) Oekusi di Timor Barat. Selain itu juga adanya entry/exit point Alur Laut Kepulauan Indonesia III A dan III B tepat di utara wilayah Timor Leste. (Sumber: Mabes TNI AL).

B. PERJANJIAN dan PERMASALAHAN BATAS WILAYAH LAUT INDONESIA
1.      Malaysia

Kesepakatan yang sudah ada antara Indonesia dengan Malaysia di wilayah perbatasan adalah garis batas Landas Kontinen di Selat Malaka dan Laut Natuna berdasarkan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Malaysia tentang pene-tapan garis batas landas kontinen antara kedua negara (Agreement Between Government of the Republic Indonesia and Government Malaysia relating to the delimitation of the continental shelves between the two countries), tanggal 27 Oktober 1969 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 89 Tahun 1969.
Berikutnya adalah Penetapan Garis Batas Laut Wilayah RI – Malaysia di Selat Malaka pada tanggal 17 Maret 1970 di Jakarta dan diratifikasi dengan Undang-undang  Nomor 2  Tahun 1971 tanggal 10 Maret 1971.  Namun untuk garis batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) di Selat Malaka dan Laut China Selatan antara kedua negara belum ada kesepakatan.
Batas laut teritorial Malaysia di Selat Singapura terdapat masalah, yaitu di sebelah Timur Selat Singapura, hal ini mengenai kepemilikan Karang Horsburgh (Batu Puteh) antara Malaysia dan Singapura. Karang ini terletak di tengah antara Pulau Bintan dengan Johor Timur, dengan jarak kurang lebih 11 mil. Jika Karang Horsburg ini menjadi milik Malaysia maka jarak antara karang tersebut dengan Pulau Bintan kurang lebih 3,3 mil dari Pulau Bintan.
Perbatasan Indonesia dengan Malaysia di Kalimatan Timur (perairan Pulau Sebatik dan sekitarnya) dan Perairan Selat Malaka bagian Selatan, hingga saat ini masih dalam proses perundingan.  Pada segmen di Laut Sulawesi, Indonesia menghendaki  perundingan batas laut teritorial terlebih dulu baru kemudian merundingkan ZEE dan Landas Kontinen. Pihak Malaysia berpendapat perundingan batas maritim harus dilakukan dalam satu paket, yaitu menentukan batas laut teritorial, Zona Tambahan, ZEE dan Landas Kontinen. Sementara pada segmen Selat Malaka bagian Selatan, Indonesia dan Malaysia masih sebatas tukar-menukar peta illustrasi batas laut teritorial kedua negara.

2.      Singapura

Perjanjian perbatasan maritim antara Indonesia dengan Singapura telah dilaksanakan mulai tahun 1973 yang menetapkan 6 titik koordinat sebagai batas kedua negara. Perjanjian tersebut kemudian diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1973.
Permasalahan yang muncul adalah belum adanya perjanjian batas laut teritorial bagian timur dan barat di Selat Singapura. Hal ini akan menimbulkan kerawanan, karena Singapura melakukan kegiatan reklamasi wilayah daratannya. Reklamasi tersebut mengakibatkan wilayah Si-ngapura bertambah ke selatan atau ke Wilayah Indonesia.
Penentuan batas maritim di sebelah Barat dan Timur Selat Singapura memerlukan perjanjian tiga negara antara Indonesia, Singapura dan Malaysia. Perundingan perbatasan kedua negara pada Segmen Timur, terakhir dilaksanakan pada 8-9 Februari 2012 di Bali (perundingan ke-2).

3.      Vietnam

Perbatasan Indonesia – Vietnam di Laut China Selatan telah dicapai kesepakatan, terutama batas landas kontinen pada tanggal 26 Juni 2002. Akan tetapi perjanjian perbatasan tersebut belum diratifikasi oleh Indonesia. Selanjutnya Indonesia dan Vietnam perlu membuat perjanjian perbatasan ZEE di Laut China Selatan. Perundingan perbatasan kedua negara terakhir dilaksanakan pada 25-28 Juli 2011 di Hanoi (perundingan ke-3)

4.      Filipina

Perundingan RI – Philipina sudah berlangsung 6 kali yang dilaksanakan secara bergantian setiap  3 – 4 bulan sekali. Dalam perundingan di Manado tahun 2004, Philipina sudah tidak mempermasalahkan lagi status Pulau Miangas, dan sepenuhnya mengakui sebagai milik Indonesia.
Hasil perundingan terakhir penentuan garis batas maritim Indonesia-Philipina dilakukan pada bulan Desember 2005 di Batam. Indonesia menggunakan metodeproportionality dengan memperhitungkan  lenght of coastline/ baseline kedua negara, sedangkan Philipina memakai metode median line. Untuk itu dalam perundingan yang akan datang kedua negara sepakat membentuk Technical Sub-Working Group untuk membicarakan secara teknis opsi-opsi yang akan diambil

5.      Papua Nugini


Perbatasan Indonesia dengan Papua New Guinea telah ditetapkan sejak 22 Mei 1885, yaitu pada meridian 141 bujur timur, dari pantai utara sampai selatan Papua. Perjanjian itu dilanjutkan antara Belanda-Ing-gris pada tahun 1895 dan antara Indonesia-Papua New Guinea pada tahun 1973, ditetapkan bahwa perbatasan dimulai dari pantai utara sampai dengan Sungai Fly pada meridian 141° 00’ 00” bujur timur, mengikuti Sungai Fly dan batas tersebut berlanjut pada meridian 141° 01’ 10” bujur timur sampai pantai selatan Papua.
Permasalahan yang timbul telah dapat diatasi yaitu pelintas batas, penegasan garis batas dan lainnya, melalui pertemuan rutin antara delegasi kedua negara. Masalah yang perlu diselesaikan adalah batas ZEE sebagai kelanjutan dari batas darat.



Ø  KESIMPULAN
Dampak positif dari letak geografis Indonesia ini tentu sangat menguntungkan dalam pertumbuhan ekonomi terutama jika dimanfaatkan sebagai lalu lintas perdagangan. Namun karena letak geografis Indonesia yang strategis pula, sejak dulu Indonesia menjadi arena perebutan pengaruh pihak asing. Indonesia telah beberapa kali melalui periodisasi penguasaan dan perebutan pengaruh, mulai dari Portugal, Belanda, hingga Amerika Serikat dan Uni Soviet di era Perang Dingin. Di masa mendatang tidak menutup kemungkinan Indonesia akan kembali menjadi wilayah perebutan pengaruh oleh negara-negara besar.
Refrensi :

http://daroen22.blogspot.com/2013/06/perbatasan-wilayah-negara-ri-perjanjian.html