Sejarah Indonesia banyak
dipengaruhi oleh bangsa lainnya. Kepulauan Indonesia menjadi wilayah
perdagangan penting setidaknya sejak abad ke-7, yaitu ketika Kerajaan Sriwijaya di Palembang menjalin
hubungan agama dan perdagangan dengan Tiongkok dan India. Kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha telah
tumbuh pada awal abad Masehi, diikuti para pedagang yang membawa agama Islam,
serta berbagai kekuatan Eropa yang saling bertempur untuk memonopoli perdagangan
rempah-rempah Maluku semasa era penjelajahan samudra. Setelah berada di
bawah penjajahan Belanda,
Indonesia yang saat itu bernama Hindia-Belanda menyatakan kemerdekaannya di
akhir Perang Dunia II. Selanjutnya Indonesia mendapat berbagai
hambatan, ancaman dan tantangan dari bencana alam, korupsi, separatisme, proses
demokratisasi dan periode perubahan ekonomi yang pesat.
Dari Sabang sampai Merauke,
Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa dan agama yang berbeda. Suku Jawa adalah suku terbesar dengan populasi mencapai
41,7% dari seluruh penduduk Indonesia. Semboyan nasional Indonesia, "Bhinneka tunggal ika"("Berbeda-beda
tetapi tetap satu"), berarti keberagaman yang membentuk negara. Selain
memiliki populasi padat dan wilayah yang luas, Indonesia memiliki wilayah alam
yang mendukung tingkat keanekaragaman hayati terbesar
kedua di dunia.
Indonesia
juga anggota dari PBB dan satu-satunya anggota yang pernah keluar dari PBB (Perserikatan
Bangsa Bangsa), yaitu pada tanggal 7 Januari1965, dan bergabung kembali pada tanggal 28 September 1966 dan Indonesia tetap dinyatakan sebagai anggota yang
ke-60, keanggotaan yang sama sejak bergabungnya Indonesia pada tanggal 28 September 1950.
Selain PBB,
Indonesia juga merupakan anggota dari ASEAN (Association of Southeast Asian Nations), APEC (Asia-Pacific
Economic Cooperation), OKI, G-20dan akan menjadi anggota dari OECD (Organisation
for Economic Co-operation and Development).
Ø PERBATASAN
WILAYAH NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Beginilah nasib daerah perbatasan, menjadi yang
terdepan sekaligus yang tertinggal. Ternyata konsep pembangunan di negara –
negara berkembang tidak sesederhana menata sebuah rumah idaman. Bagian yang
terdepan biasanya dibuat paling menarik tertata rapi, ter update senantiasa
kebersihannya, keasriannya dan menjadi tempat tongkrongan kendaraan yang
kemudian menjadi gambaran tentang tingkat kemakmuran penghuni rumah.
Daerah perbatasan di Indonesia terdiri dari
daerah perbatasan darat dan perbatasan laut termasuk daerah yang terdapat pulau
- pulau terkecil. Sebenarnya di tinjau dari nilai strategis dan potensi
kebanyakan daerah perbatasan di Indonesia, mereka mempunyai keunggulan dan
keunikan tersendiri. Daerah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar
memiliki potensi sumberdaya alam yang besar, serta merupakan wilayah yang
sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara.
Tetapi, pembangunan di daerah perbatasan masih
sangat jauh tertinggal dan kondisinya sangat timpang jika dibandingkan dengan
kondisi daerah perbatasan negara tetangga. Kebijakan kepala negara dan
pengelola negara ternyata tidak identik dengan skala kepala rumah tangga dan
pengelolaan sebuah rumah idaman. Yang terdepan justru dianggap sebagai halaman
belakang, diurusnya paling belakangan alias tidak masuk dalam prioritas
pembangunan nasional.
Secara garis besar, keadaan daerah perbatasan
merupakan gambaran dari penghayatan visi, misi dan tujuan pembangunan nasional
kita. Kita, bangsa Indonesia masih rabun akan arah dan kebijakan dasar yang
sesungguhnya. Seperti penghuni rumah yang tinggal bersama tetapi dalam kondisi
ketimpangan yang nyata. Ada yang glamour pakai baju bagus dan kendaraan mewah
disaat anggota keluarga yang lain masih berkutat dengan pemenuhan kebutuhan
dasar, kira – kira seperti itulah.
Daerah perbatasan dihuni oleh anggota
masyarakat yang tergolong miskin, jauh dari sejahtera dan sangat tertinggal.
Masih belum banyak tersentuh oleh program pembangunan sehingga akses terhadap
prioritas pembangunan seperti infrastruktur, pemberdayaan potensi, pelayanan
sosial, ekonomi, dan pendidikan masih sangat terbatas. Jika anda berkesempatan
mengunjungi daerah perbatasan di Indonesia, maka anda akan menemui kondisi
seperti kendala akses transportasi yang menghubungkan daerah perbatasan dengan
daerah lain yang lebih inward yang relatif lebih maju. kebanyakan daerah
perbatasan itu miskin tetapi miskin justru karena miskin nya perhatian dan keseriusan
pemerintah untuk mengelola kekayaan sumberdaya alam melimpah yang dimiliki
daerah perbatasan tersebut.
Sayangnya lagi, pengelola otoritas daerah
perbatasan justru berpola pikir seragam dengan atasannya yang di pusat. Melihat
daerahnya sendiri yang serba kurang dan lemah, malah tidak berpikir kreatif
untuk membuat kebijakan dan program yang dapat menggali potensi daerahnya
karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) secara langsung
serta berbagai alasan klasik dari bupati satu ke bupati lain yaitu berkeluh
kesah dan menunjuk atasannya di pusat melalui berbagai sektor pembangunan
terkaitnya belum optimal mendukung dan pelit anggaran.
Republik Indonesia adalah Negara kepulauan
berwawasan nusantara, sehingga batas wilayah di laut harus mengacu pada UNCLOS
(United Nations Convension on the Law of the Sea) 82/ HUKLA (Hukum laut) 82
yang kemudian diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985. Indonesia memiliki
sekitar 17.506 buah pulau dan 2/3 wilayahnya berupa lautan.
Dari 17.506 pulau tersebut terdapat Pulau-pulau
terluar yang menjadi batas langsung Indonesia dengan negara tetangga.
Berdasarkan hasil survei Base Point atau Titik Dasar yang telah dilakukan
DISHIDROS TNI AL, untuk menetapkan batas wilayah dengan negara tetangga,
terdapat 183 titik dasar yang terletak di 92 pulau terluar, sisanya ada di
tanjung tanjung terluar dan di wilayah pantai. Dari 92 pulau terluar ini ada 12
pulau yang harus mendapatkan perhatian serius.
Dalam Amandemen UUD 1945 Bab IX A tentang
Wilayah Negara, Pasal 25A tercantum Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas
dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Di sini jelas disebutkan bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berwawasan
nusantara, sehingga batas wilayah di laut harus mengacu pada UNCLOS (United
Nations Convension on the Law of the Sea) 82/ HUKLA (Hukum laut) 82 yang
kemudian diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985.
Dampak dari ratifikasi Unclos ini adalah
keharusan Indonesia untuk menetapkan Batas Laut Teritorial (Batas Laut
Wilayah), Batas Zone Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan Batas Landas Kontinen. Indonesia
Adalah negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.506 buah pulau dan 2/3
wilayahnya berupa lautan. Dari 17.506 pulau tersebut terdapat pulau-pulau
terluar yang menjadi batas langsung Indonesia dengan negara tetangga.
BATAS WILAYAH NKRI Indonesia mempunyai
perbatasan darat dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia, Papua Nugini
dan Timor Leste. Sementara perbatasan laut dengan sepuluh negara tetangga,
diantaranya Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Papua Nugini, Timor
Leste, India, Thailand, Australia, dan Palau. Hal ini tentunya sangat erat
kaitannya dengan masalah penegakan kedaulatan dan hukum di laut, pengelolaan
sumber daya alam serta pengembangan ekonomi kelautan suatu negara.
Kompleksitas permasalah di laut akan semakin
memanas akibat semakin maraknya kegiatan di laut, seperti kegiatan pengiriman
barang antar negara yang 90%nya dilakukan dari laut, ditambah lagi dengan
isu-isu perbatasan, keamanan, kegiatan ekonomi dan sebagainya. Dapat
dibayangkan bahwa penentuan batas laut menjadi sangat penting bagi Indonesia,
karena sebagian besar wilayahnya berbatasan langsung dengan negara tetangga di
wilayah laut. Batas laut teritorial diukur berdasarkan garis pangkal yang
menghubungkan titik-titik dasar yang terletak di pantai terluar dari
pulau-pulau terluar wilayah NKRI. Berdasarkan hasil survei Base Point atau
titik dasar untuk menetapkan batas wilayah dengan negara tetangga, terdapat 183
titik dasar yang terletak di 92 pulau terluar, sisanya ada di tanjung tanjung
terluar dan di wilayah pantai
A. PERJANJIAN dan PERMASALAHAN BATAS WILAYAH
DARAT INDONESIA
1. Malaysia
Kesepakatan yang sudah ada antara Indonesia
dengan Malaysia di wilayah perbatasan adalah garis batas Landas Kontinen di
Selat Malaka dan Laut Natuna berdasarkan Persetujuan antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Malaysia tentang pene-tapan garis batas
landas kontinen antara kedua negara (Agreement
Between Government of the Republic Indonesia and Government Malaysia relating
to the delimitation of the continental shelves between the two countries),
tanggal 27 Oktober 1969 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 89 Tahun 1969.
Berikutnya adalah Penetapan Garis Batas Laut
Wilayah RI – Malaysia di Selat Malaka pada tanggal 17 Maret 1970 di Jakarta dan
diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1971 tanggal 10
Maret 1971. Namun untuk garis batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) di Selat
Malaka dan Laut China Selatan antara kedua negara belum ada kesepakatan.
Batas laut teritorial Malaysia di Selat
Singapura terdapat masalah, yaitu di sebelah Timur Selat Singapura, hal ini
mengenai kepemilikan Karang Horsburgh (Batu Puteh) antara Malaysia dan
Singapura. Karang ini terletak di tengah antara Pulau Bintan dengan Johor
Timur, dengan jarak kurang lebih 11 mil. Jika Karang Horsburg ini menjadi milik
Malaysia maka jarak antara karang tersebut dengan Pulau Bintan kurang lebih 3,3
mil dari Pulau Bintan.
Perbatasan Indonesia dengan Malaysia di
Kalimatan Timur (perairan Pulau Sebatik dan sekitarnya) dan Perairan Selat
Malaka bagian Selatan, hingga saat ini masih dalam proses perundingan.
Pada segmen di Laut Sulawesi, Indonesia menghendaki perundingan batas
laut teritorial terlebih dulu baru kemudian merundingkan ZEE dan Landas
Kontinen. Pihak Malaysia berpendapat perundingan batas maritim harus dilakukan
dalam satu paket, yaitu menentukan batas laut teritorial, Zona Tambahan, ZEE
dan Landas Kontinen. Sementara pada segmen Selat Malaka bagian Selatan,
Indonesia dan Malaysia masih sebatas tukar-menukar peta illustrasi batas laut
teritorial kedua negara.
2. Papua
Nugini
Perbatasan Indonesia dengan Papua New Guinea
telah ditetapkan sejak 22 Mei 1885, yaitu pada meridian 141 bujur timur, dari
pantai utara sampai selatan Papua. Perjanjian itu dilanjutkan antara
Belanda-Ing-gris pada tahun 1895 dan antara Indonesia-Papua New Guinea pada
tahun 1973, ditetapkan bahwa perbatasan dimulai dari pantai utara sampai dengan
Sungai Fly pada meridian 141° 00’ 00” bujur timur, mengikuti Sungai Fly dan
batas tersebut berlanjut pada meridian 141° 01’ 10” bujur timur sampai pantai
selatan Papua.
Permasalahan yang timbul telah dapat diatasi
yaitu pelintas batas, penegasan garis batas dan lainnya, melalui pertemuan
rutin antara delegasi kedua negara. Masalah yang perlu diselesaikan adalah
batas ZEE sebagai kelanjutan dari batas darat.
3. Timor Leste
Perundingan batas maritim antara Indonesia dan
Timor Leste belum pernah dilakukan, karena Indonesia menghendaki penyelesaian
batas darat terlebih dahulu baru dilakukan perundingan batas maritim. Dengan
belum selesainya batas maritim kedua negara maka diperlukan
langkah-langkah terpadu untuk segera mengadakan pertemuan guna membahas masalah
perbatasan maritim kedua negara.
Permasalahan yang akan sulit disepakati adalah
adanya kantong (enclave)
Oekusi di Timor Barat. Selain itu juga adanya entry/exit
point Alur Laut Kepulauan Indonesia III A dan III B tepat di
utara wilayah Timor Leste. (Sumber: Mabes TNI AL).
B. PERJANJIAN dan PERMASALAHAN BATAS WILAYAH
LAUT INDONESIA
1. Malaysia
Kesepakatan yang sudah ada antara Indonesia
dengan Malaysia di wilayah perbatasan adalah garis batas Landas Kontinen di
Selat Malaka dan Laut Natuna berdasarkan Persetujuan antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Malaysia tentang pene-tapan garis batas
landas kontinen antara kedua negara (Agreement
Between Government of the Republic Indonesia and Government Malaysia relating
to the delimitation of the continental shelves between the two countries),
tanggal 27 Oktober 1969 dan diratifikasi dengan Keppres Nomor 89 Tahun 1969.
Berikutnya adalah Penetapan Garis Batas Laut
Wilayah RI – Malaysia di Selat Malaka pada tanggal 17 Maret 1970 di Jakarta dan
diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1971 tanggal 10
Maret 1971. Namun untuk garis batas ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) di Selat
Malaka dan Laut China Selatan antara kedua negara belum ada kesepakatan.
Batas laut teritorial Malaysia di Selat
Singapura terdapat masalah, yaitu di sebelah Timur Selat Singapura, hal ini
mengenai kepemilikan Karang Horsburgh (Batu Puteh) antara Malaysia dan
Singapura. Karang ini terletak di tengah antara Pulau Bintan dengan Johor
Timur, dengan jarak kurang lebih 11 mil. Jika Karang Horsburg ini menjadi milik
Malaysia maka jarak antara karang tersebut dengan Pulau Bintan kurang lebih 3,3
mil dari Pulau Bintan.
Perbatasan Indonesia dengan Malaysia di
Kalimatan Timur (perairan Pulau Sebatik dan sekitarnya) dan Perairan Selat
Malaka bagian Selatan, hingga saat ini masih dalam proses perundingan.
Pada segmen di Laut Sulawesi, Indonesia menghendaki perundingan batas
laut teritorial terlebih dulu baru kemudian merundingkan ZEE dan Landas
Kontinen. Pihak Malaysia berpendapat perundingan batas maritim harus dilakukan
dalam satu paket, yaitu menentukan batas laut teritorial, Zona Tambahan, ZEE
dan Landas Kontinen. Sementara pada segmen Selat Malaka bagian Selatan,
Indonesia dan Malaysia masih sebatas tukar-menukar peta illustrasi batas laut
teritorial kedua negara.
2. Singapura
Perjanjian perbatasan maritim antara Indonesia
dengan Singapura telah dilaksanakan mulai tahun 1973 yang menetapkan 6 titik
koordinat sebagai batas kedua negara. Perjanjian tersebut kemudian diratifikasi
dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 1973.
Permasalahan yang muncul adalah belum adanya
perjanjian batas laut teritorial bagian timur dan barat di Selat Singapura. Hal
ini akan menimbulkan kerawanan, karena Singapura melakukan kegiatan reklamasi
wilayah daratannya. Reklamasi tersebut mengakibatkan wilayah Si-ngapura
bertambah ke selatan atau ke Wilayah Indonesia.
Penentuan batas maritim di sebelah Barat dan
Timur Selat Singapura memerlukan perjanjian tiga negara antara Indonesia,
Singapura dan Malaysia. Perundingan perbatasan kedua negara pada Segmen Timur,
terakhir dilaksanakan pada 8-9 Februari 2012 di Bali (perundingan ke-2).
3. Vietnam
Perbatasan Indonesia – Vietnam di Laut China
Selatan telah dicapai kesepakatan, terutama batas landas kontinen pada tanggal
26 Juni 2002. Akan tetapi perjanjian perbatasan tersebut belum diratifikasi
oleh Indonesia. Selanjutnya Indonesia dan Vietnam perlu membuat perjanjian
perbatasan ZEE di Laut China Selatan. Perundingan perbatasan kedua negara
terakhir dilaksanakan pada 25-28 Juli 2011 di Hanoi (perundingan ke-3)
4. Filipina
Perundingan RI – Philipina sudah berlangsung 6
kali yang dilaksanakan secara bergantian setiap 3 – 4 bulan sekali. Dalam
perundingan di Manado tahun 2004, Philipina sudah tidak mempermasalahkan lagi
status Pulau Miangas, dan sepenuhnya mengakui sebagai milik Indonesia.
Hasil perundingan terakhir penentuan garis
batas maritim Indonesia-Philipina dilakukan pada bulan Desember 2005 di Batam.
Indonesia menggunakan metodeproportionality dengan
memperhitungkan lenght
of coastline/ baseline kedua negara, sedangkan Philipina
memakai metode median
line. Untuk itu dalam perundingan yang akan datang kedua
negara sepakat membentuk Technical
Sub-Working Group untuk membicarakan secara teknis opsi-opsi
yang akan diambil
5. Papua Nugini
Perbatasan Indonesia dengan Papua New Guinea
telah ditetapkan sejak 22 Mei 1885, yaitu pada meridian 141 bujur timur, dari
pantai utara sampai selatan Papua. Perjanjian itu dilanjutkan antara
Belanda-Ing-gris pada tahun 1895 dan antara Indonesia-Papua New Guinea pada
tahun 1973, ditetapkan bahwa perbatasan dimulai dari pantai utara sampai dengan
Sungai Fly pada meridian 141° 00’ 00” bujur timur, mengikuti Sungai Fly dan
batas tersebut berlanjut pada meridian 141° 01’ 10” bujur timur sampai pantai
selatan Papua.
Permasalahan yang timbul telah dapat diatasi
yaitu pelintas batas, penegasan garis batas dan lainnya, melalui pertemuan
rutin antara delegasi kedua negara. Masalah yang perlu diselesaikan adalah
batas ZEE sebagai kelanjutan dari batas darat.
Ø KESIMPULAN
Dampak positif dari letak geografis Indonesia
ini tentu sangat menguntungkan dalam pertumbuhan ekonomi terutama jika
dimanfaatkan sebagai lalu lintas perdagangan. Namun karena letak geografis
Indonesia yang strategis pula, sejak dulu Indonesia menjadi arena perebutan
pengaruh pihak asing. Indonesia telah beberapa kali melalui periodisasi
penguasaan dan perebutan pengaruh, mulai dari Portugal, Belanda, hingga Amerika
Serikat dan Uni Soviet di era Perang Dingin. Di masa mendatang tidak menutup
kemungkinan Indonesia akan kembali menjadi wilayah perebutan pengaruh oleh
negara-negara besar.
Refrensi
:
http://daroen22.blogspot.com/2013/06/perbatasan-wilayah-negara-ri-perjanjian.html