Persoalan politik perempuanIndonesia. Wacana keterlibatan
perempuan dalam politik perlu serius kita angkat. Apalagi
selama ini ternyata kuota perempuan 30% untuk anggota legislatif tidak
tercapai.
Persoalannya, menghadapi
Pemilu 2014, bagaimana kita harus menyikapi hal tadi? Sebab, hal itu seharusnya
bisa digunakan sebagai starting
point dan media bagi perempuan untuk memberdayakan dirinya dalam bidang politik.
Ataukah para perempuan perlu memikirkan media dan alternatif lain untuk
memberdayakan dirinya dalam bidang politik, selain melalui kuota 30%?
Dalam sejarah
perpolitikan di Indonesia dan negara berkembang umumnya, perempuan memang
dipandang terlambat terlibat di dunia politik. Stigma-stigma bahwa perempuan
senantiasa dalam posisi domestik, dianggap sebagai salah satu hal yang
mengakibatkan perempuan terlambat berkiprah di dunia politik. Padahal potensi
modal politik kaum perempuan (termasuk di Indonesia) untuk melibatkan diri
dalam dunia politik adalah besar.
Menurut Biro Pusat Statistik, jumlah perempuan
Indonesia adalah sebanyak 101.628.816 orang (51%) dari jumlah penduduk
Indonesia. Ironisnya, jumlah perempuan yang ada pada posisi-posisi strategis untuk pengambilan keputusan amat minim. Pada setiap pemilu,
jumlah perempuan yang terpilih berkisar antara 8% hingga 11%.
Pendaftaran pencalonan dari masing-masing kekuatan politik bisa mencerminkan lebih
dari 11% caleg perempuan, namun kenyataannya yang terpilih tidak lebih dari
itu.
Dengan
kondisi itu bisa dimengerti bila keputusan-keputusan yang dibuat sangat
maskulin dan kurang berperspektif gender. Perempuan tidak banyak terlibat dalam
proses pembuatan keputusan. Perempuan lebih banyak sebagai “penikmat”
keputusan. Padahal keputusan yang dihasilkan sering sangat bias gender, tidak
memperhatikan kepentingan kaum perempuan, tidak membuat perempuan kian
berkembang. Sebaliknya, lebih banyak membuat perempuan menenggelamkan diri pada
sektor-sektor yang amat tidak strategis. Dalam jangka panjang, ini
mengakibatkan posisi perempuan selalu berada pada posisi marjinal.
Salah satu argumen kaum
feminis tentang minimnya jumlah perempuan yang terlibat dalam urusan politik
ialah karena kendala struktural. Di antaranya berupa kebijakan dan regulasi
pemerintah yang tidak memberi kesempatan kepada perempuan untuk aktif di ranah
publik. Kendala struktural itu kemudian coba diatasi dengan
menetapkan kuota perempuan dalam UU tentang Pemilu. Salah satu pasalnya
menyebutkan, “Setiap partai politik dapat mengajukan calon anggota DPR dan DPRD
dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Aturan ini
bisa dipahami sebagai upaya untuk menghapus kendala struktural yang mungkin
membelenggu perempuan.
Dengan amanat pasal itu,
ada semacam kewajiban bagi setiap parpol untuk menempatkan perempuan sebagai
caleg. Setiap ada 3 nama yang diusulkan sebagai caleg, satu di antaranya harus
perempuan. Dengan cara ini, diharapkan minimalsepertiga jumlah anggota DPR/DPRD yang terpilih adalah
perempuan. Dengan begitu kebijakan-kebijakan yang dihasilkan, baik di pusat
maupun daerah, akan lebih berpihak kepada kaum perempuan yang karena sifat dan
kodratnya memang membutuhan perlakuan khusus.
Sayangnya,
belajar dari sejarah, dalam proses pencalonan anggota legislatif untuk pemilu,
banyak parpol yang tidak mampu memenuhi jumlah minimal caleg perempuan. Sebagai
pelajaran ke depan, tentu kita harus melacaknya dengan cermat, mengapa itu
terjadi? Faktor struktural jelas tidak bisa dijadikan “kambing hitam”, sebab
sudah ada amanat salah satu pasal dalam UU tentang Pemilu. Yang bisa dijadikan
“kambing hitam” hanyalah abu-abunya ketentuan pasal tadi, dalam arti tidak
bersifat imperatif dan tidak disertai sanksi bagi parpol yang tidak menaatinya.
Faktor
lain yang kemudian dijadikan argumen ialah faktor kultural. Selama ini, dunia
politik dikonstruksikan secara keliru, yaitu sebagai arena adu kekuatan, tipu
muslihat, perebutan kekuasaan, penyalahgunaan kekuasaan, dan segala bentuk
citra negatif lainnya. Dunia demikian memang menjadi asing bagi perempuan yang
cenderung mengutamakan kehalusan, ketulusan, kedamaian dan ketentraman hidup.
Banyak perempuan berpandangan, panggung politik bukanlah wilayah yang pantas
dimasuki dan sebisa mungkin harus dihindari. Politik acap dianggap sebagai
arena bermain bagi laki-laki untuk menempa eksistensi dan jati diri. Memang
bagi kebanyakan orang (laki-laki), politik sebagai profesi adalah sesuatu yang
amat menggairahkan. Tapi tidak demikian bagi para perempuan.
Faktor lainnya yang
dapat digunakan untuk menjelaskan minimnya caleg perempuan ialah faktor intern parpol. Parpol belum siap mengajukan caleg perempuan yang
kualified dan potensial. Sebab selama ini ada tradisi dalam struktur organisasi
apapun untuk menempatkan perempuan cuma dalam bidang-bidang yang mengurusi
bidang keperempuanan, seperti bendahara, bidang/urusan wanita, urusan sosial
dan semacamnya, bukan pada posisi-posisi strategis.
Kondisi ini yang
kemudian mendorong suatu parpol untuk mengajukan caleg perempuan “impor” atau
“siluman”, yang bukan kader parpol bersangkutan dan sama sekali belum dikenal
kader-kader parpol. Sementara mereka yang sudah lama mengabdi dan menjadi kader parpol, sama sekali tidak dilirik
bahkan diabaikan. Inilah yang kemudian menuai protes agar caleg perempuan itu
dibatalkan, seperti kasus yang pernah terjadi di DPD PDI-P DI Yogyakarta.
Itu
ditambah faktor jual beli nomor urut daftar pencalonan. Bagi caleg perempuan
potensial, faktor ini bisa jadi turut menentukan proses pencalonannya. Jika dia
tidak mampu menyediakan sejumlah dana untuk posisi nomor pencalonannya,
lebih-lebih untuk “nomor peci”, sudah bisa dipastikan tidak akan diajukan
sebagai caleg.
Mencermati
realita politik di atas, para aktivis perempuan sebaiknya memandang kuota 30%
perempuan dalam parlemen sebagai suatu proses pendidikan politik. Dan ke depan,
khususnya untuk menghadapi Pemilu 2014, rencana dan program perlu lebih
diarahkan untuk melakukan pendidikan politik, baik kepada parpol, caleg maupun
pemilih, terutama pemilih perempuan.
Pendidikan politik ini
tidak cuma bertalian dengan hal-hal teknis dalam proses pemilu seperti
memberikan informasi kepada pemilih, siapa yang berhak memilih, mekanisme
pemilihan, tempat, tanggal dan waktu pemilihan, dan syarat-syarat registrasi.
Namun juga bertalian dengan pengetahuan dasar atau filsafat di balik hakikat
pemilu, di antaranya apa itu pemilu dan mengapa pemilu diadakan. Harus pula
dijelaskan, pemilu memiliki implikasi terhadap kualitas penyelenggaraan negara
dan terciptanya good
governance di masa depan. Yang
diharapkan dari itu ialah munculnya kesadaran dan motivasi pemilih untuk
berpartisipasi penuh dalam proses pemilu.
Dalam pendidikan politik
itu juga perlu dijelaskan bagaimana menentukan pilihan parpol dan wakil
legislatif. Dalam proses ini perlu ada gambaran jelas tentang profil parpol dan anggota legislatif yang diajukan parpol. Harus ada track record orang yang akan dipilih, terutama yang bertalian dengan persoalan
korupsi dan keberpihakan kepada rakyat. Di sini perlu ditekankan agar dalam
memilih dapat menggunakan pertimbangan rasional. Harus ada pertimbangan matang,
mengapa memilih parpol ini atau itu, mengapa memilih si A atau B sebagai caleg,
termasuk dalam memilih caleg perempuan. Jangan karena alasan agar kuota 30%
perempuan terpenuhi, kita asal memilih caleg perempuan.
Agar pemilih lebih
kritis, dalam proses pendidikan politik itu ada 3 tahap yang mesti dilakukan:
(1) Tahap kodifikasi. Yaitu tahap menghadirkan fakta sosial ke dalam arena pendidikan politik, misalnya mempertanyakan apa
fakta sosial atau persoalan krusial yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat
ini. (2) Tahap dekodifikasi. Yaitu tahap analisis atas persoalan atau fakta
sosial, yakni mempertanyakan mengapa persoalan itu muncul. (3) Tahap praksis
atau pemecahan masalah. Yaitu mempertanyakan bagaimana persoalan itu dapat
dipecahkan dan bagaimana fungsi pemilu dalam upaya pemecahan masalah itu.
Dari semua itu, yang
terpenting, proses pendidikan politik tersebut harus sensitif gender. Dengan
strategi demikianlah kaum perempuan di Indonesia akan bisa menghadapi pemilu
secara matang, terutama di Pemilu 2014. Semoga ini menjadi kesadaran bagi kaum
perempuan. (*)
Referensi:
http://www.padangekspres.co.id/?news=nberita&id=4341
Referensi:
http://www.padangekspres.co.id/?news=nberita&id=4341
Tidak ada komentar:
Posting Komentar